Perkara 10 : keluarga

[Sarang Penyamun Si Nyai are not available]

.

☆☆☆☆☆☆☆

.

"Temani aku kondangan, dong."

Seluruh kaum adam selain yang barusan bicara langsung cengo. Ada yang ternganga, ada yang melotot, ada yang lirik sinis, ada yang neleng serem sambil ngumpat, ada yang kaget sampai bodo amat game lanjut atau tidak, bahkan sampai yang menjatuhkan spatula.

Mereka syok. Super duper ultra mega mendung mau hujam asam sianida kopi kapal api yang sedang berlayar syok.

Sementara yang diajak menyengir canggung karena ini merupakan permintaan pertama dari orang baru.

"Cil, emang lu punya relasi?" tanya si kolektor topi, memecah keheningan.

"Punya lah!" lha dalah malah sewot.

"Lu baru tiga hari di sini udah nekat ya. Paling cepet pas kedatangan Nyai juga dua minggu baru mau diajakin begitu."

"Heh jingga duren, jangan bikin anak orang ambigu!"

CTAK

Kacang goreng dilempar mengenai pelipis si rambut jingga hingga berbunyi.

"Masalahnya jadwalku." Si gadis yang kini angkat bicara. Ia memasang tampang berpikir dengan tangan di dagu sementara yang lainnya menopang siku.

"Ini lagi sibuk-sibuknya. Amit-amit kalau nge-drop," lanjutnya.

"No bocor-bocor, [Name]-chan?"

Si tertiang di ruang berkumpul auto kena gaplok bantal sofa.

"Ittoki-kun hidoi~"

"Lagi serius, Natsuki."

Habis itu seluruh anak kos noleh ke dapur yang ada persis di sebelah ruang berkumpul; tanpa sekat. Atensi mereka tertuju pada pemuda berambut lurus yang baru saja menaruh spatula yang jatuh ke tempat cucian.

Merasa diperhatikan, pemuda itu memasang tampang sinis.

"Apa?"

"Anak gadis lu diajak kondangan."

Raut wajah mengernyit tak suka. "Ga jelas," katanya sambil membuang muka. Padahal mah gerah, kesel, pengen nabok.

Setelah itu kembali fokus pada satu-satunya gadis di ruang berkumpul. Mereka menunggu seperti peserta jalan sehat yang menunggu undian berhadiah.

"Ya sudah, lah. Kapan memangnya?"

"BUBAR BUBAR, PENONTON KECOA--MAKSUDNYA KECEWA!!"

Satu per satu pergi hingga menyisakan Cecil dan [Name] saja. Oh ya, jangan lupakan Masato yang masih berkutat dengan alat-alat dapur.

"Sabtu sore. Ga ada dress code! Jadi kasual aja."

Si gadis pun mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Toh dari semua acara kondangan yang ia ikuti, tak ada yang ia kenal.

... Namun [Name] terlalu positive thinking ...

"Kamu ..."

Gadis itu berusaha menahan tangis saat tahu siapa yang akan ditemuinya. Ia tanpa sadar meremat lengan jas pemuda eksotis di sebelahnya. Pandangannya terus tertuju pada pasangan pengantin yang berbincang dengan Cecil.

Lebih tepatnya pada pengantin pria.

"[Name]?" panggil Cecil, kebingungan.

[Name] tersentak kaget dan menundukkan kepala. Tak lama ia mengucapkan selamat pada sepasang pengantin di hadapannya,

"A-ah ya, selamat atas p-pernikahannya!"

[Name] tersenyum seriang mungkin. Gadis itu tiba-tiba bersandar pada Cecil, memasang wajah semelas mungkin.

"Cecil--maaf, a-aku agak ..."

"Maaf, kami undur diri. Kurasa temanku kambuh sakitnya," Cecil dengan sigap menahan pundak [Name] dan pamit pergi.

"Tunggu!"

Si pengantin pria tiba-tiba menyusul dan menahan lengan Cecil. Ia menyodorkan buket bunga yang tadi dibawa istrinya.

"Istriku menyuruhku, uh, memberikan ini. Cepatlah ... menyusul."

Cecil sebetulnya masing bingung, tetapi ia tetap menerima karena tak enak hati menolak. Lagipun ia cepat-cepat ingin tahu apa yang disembunyikan [Name].

Keduanya berakhir di bangku kosong di luar tempat acara. Cecil melepaskan jasnya dan menyisakan kaus hijaunya. Sementara jas itu ia sampirkan menutupi kepala [Name].

"Menangis saja kalau ingin. Bawa tisu, kan?"

Seketika emosi yang ditahan pecah dalam bentuk tangisan. Luka yang sejak dahulu ditutupi kembali menganga lebar.

Sakit.

[Name] merasa hancur untuk ke sekian kalinya.

Gadis itu sedikit terkejut ketika kepalanya disenderkan. Ditambah lagi ditepuk-tepuk pelan. Seperti anak kecil saja.

"Aku baru tahu bisa sesakit itu. Pacar--ah bukan, sudah jadi mantan berarti?"

Gadis itu hanya mampu mengangguk pelan guna menjawab pertanyaan tersebut.

Entah berapa lama [Name] menangis. Ia baru saja menurunkan jas Cecil ketika si empunya jas memberikan botol mineral. Dari mana asalnya, ia tak tahu.

"Diminum dulu."

[Name] tak membantah. Tenggorokannya juga terasa kering.

"Kalau merasa sakit, kau bisa cerita dengan kami."

Gadis itu menolehkan kepala. Pemuda di sebelahnya tengah menengadah; mungkin menerawang.

"Memendam seperti itu sendirian, rasanya tidak adil. Kami--anak-anak kos kan juga keluargamu. Jangan sungkan buat curhat."

Ia mengedip heran ketika Cecil menengok dan tersenyum manis.

"Kalau pulang nanti, jangan kaget ya!"

... Ya, jangan kaget ...

"Syo-chan, [Name]-chan lebih cantik kalau pakai pita!"

"Urusai! Pasang saja balonnya!"

"Yo~ buketnya sudah jadi."

"Otoya, rambutmu harusnya ditata rapi ke belakang."

"Heh? Masato belah miring tuh!"

"Model rambut orang beda-beda."

"Bagaimana gaunnya? Gomen ne, cuma seadanya."

[Name] menengadah, melihat Cecil dengan ekspresi yang campur aduk. Pemuda itu telah berganti dengan setelan jas putih.

Sebetulnya tidak hanya dia, tapi semua anak kos. Yang membedakan hanyalah dasi dan aksesoris lain yang mewakili warna mereka.

Gaun terusan selutut berwarna broken white adalah pilihan Natsuki dan Otoya, setelah muter-muter satu kota. Awalnya mau bentuk A-line yang motifnya ramai, tetapi ukuran [Name] yang ada kebanyakan model atasnya backless.

Mupeng dong nanti.

Rambut [Name] pun dimahkotai bunga camomile rancangan Ren dan Syo yang sebelumnya berdebat jenis bunga apa yang akan dipilih. Ren maunya mawar, tapi Syo dah keburu jengkel dengan bunga kebanggaan si pujangga jingga itu.

Padahal aslinya mau pakai mahkotanya ratu dari opera(?) Queen of the Night.

Dan tim Masato-Tokiya yang paling santuy. Soal sepatu jangan ditanya, relasinya banyak. Mereka minta sepasang, yang datang sebelas pasang. Untung dah izin pakai duit Babeh.

Secara ga langsung juga itu hadiah Babeh buat satu-satunya anak gadis di kos.

[Name] ditarik duduk di sofa yang telah dirancang sedemikian rupa, sementara anak kos lainnya sudah mengambil posisi.

Dua ajudan(?) kos, Tsukimiya Ringo dan Hyuuga Ryuuya sudah siap dengan kamera mereka.

Blitz kamera menyadarkan [Name] bahwa ini bukan mimpi.

"Hei [Name], jangan pernah sungkan dengan keluarga barumu,"

Gadis itu menggumam bingung seraya mengedarkan pandangannya. Banyak mata tertuju padanya.

"Minna! Say 'we are family'!"

Ah ya, [Name] baru ingat menjadi bagian dari keluarga Kos Saotome di sini. Ia akhirnya menarik senyum lebar, berpose semanis mungkin di hadapan kamera.

"We are family!"

.

☆☆☆☆☆☆☆

.

[End]






























Edited:

Beneran end

Dah, habis. Happily ever after.

190321,
Shin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top